Tepat sebelum hari yang menyedihkan
atau juga dapat membahagiakan,
jikalau ia pulang dan membawa senyuman.
Tepat dimana surya
menantang wajah-wajah orang buta
kerna matanya tak sanggup lagi menatap:
Menatap malu.
Menatap semu dan
menatap masa yang menjadi kelabu.
Ada pula spanduk-spanduk
dan poster-poster partai,
yang seakan mengejek juga menertawai,
bagaimana bangsa ini semakin terpuruk
karena banyak resah yang tertabur
dan lupuk di atas meja berdengkur.
Aku berjalan menuju ruang sunyi:
Tak seorang pun memahami.
Tak seorang pun berani
melewati banyak jeladri.
Rumput pun tak.
Hijau pun hanya angan.
Lalu, kemana aku berjalan,
yang seharusnya menuju keabadian?
Kemudian aku tersesat.
Dan lusa adalah hari penantian.
Aku tak siap untuk kata siap.
Aku tak berani untuk kata berani.
Dan aku tak sanggup untuk mengurai
kata demi kata yang keluar menjadi bencana.
Kemudian, aku terdiam sesaat.
Menatap bangau-bangau yang bebas
mengepakkan sayap-sayapnya
di depan tatapan manusia berdusta.
Otakku tak sanggup lagi berkata
Nuraniku pergi tak lagi berjumpa.
Lantas aku harus bagaimana?
Kerna, lusa adalah hari tanpa sebuah bahagia
dan hari yang penuh bala.
No comments:
Post a Comment