Suatu saat aku pernah dengan sengaja
menanam bibit bunga mawar merah
di depan halaman rumahmu secara diam-diam.
Aku tahu, tiap sore hari, bersama ayahmu,
kau sibuk mengurus tanaman-tanaman
di dalam pot, memotong rumput-rumput liar,
serta memberi makan anjingmu yang kau
beri nama Beri itu.
Bahkan tak lupa, daun-daun gugur dari pohon jati
milik tetanggamu yang jatuh tepat di depan
halaman kau sapu dengan malu.
Sebulan kemudian, di waktu yang sama,
aku melihat bunga itu mulai tumbuh
dan menampakkan diri di tengah rerumputan
yang sering kau abaikan.
Aku melihatmu sedikit bergumam seraya menyapu keringat
yang mulai bercucuran di dahi.
Sementara ayahmu masih saja sibuk dengan tanaman potnya
yang tak kunjung meninggi
Seminggu setelahnya, aku kembali lagi untuk mengintip rumahmu.
Melihatmu dengan ikhlas membiarkan bunga itu tumbuh, walau kau tahu,
merelakannya bersama rumput-rumput liar membuatnya menjadi samar.
Tapi semua itu sudah aku perhitungkan.
Aku memang sengaja memberikannya kesempatan
walau hanya sejenak dan merelakannya pudar,
Aku tak berharap apapun dari apa yang aku tuai,
hingga suatu hari kau sadar bahwa mawar itu memerah cantik
dan kau dihadapkan oleh dua pilihan:
memotongnya bersama ilalang,
atau merawatnya di dalam pot
bersama tanaman ayahmu.
Jika kau sudah tau pilihan mana yang akan
kau putuskan, sejak itu pula aku akan segera pulang.
Alwan Brilian
August 20, 2019
February 2, 2019
Kapan Pulang?
Aku pulang.
Menjenguk rumahku yang jenuh
mendengar langkah kakiku terus
merusak keheningan.
Lampu beranda menyapaku dengan sedikit geram
Sementara ayam-ayam di kandang
terbangun dan memarahiku dengan nada yang pelan.
Sapaan atau salam tidak datang keluar
dari mulut atau terdengar di telinga.
Ia menjadi imajinasi yang angkuh,
berbelit, dan semena-mena.
Kaki yang telentang, terbaringnya badan,
serta suara dengkur 3 orang
adalah keniscayaan.
Saat itu aku tidak benar-benar pulang.
Aku malu untuk mengakui
bahwa aku telah pulang.
Dan aku rasa, puisi ini
terlampau memaksa diriku untuk
digambarkan dalam situasi pulang.
Tiba-tiba aku berfikir
untuk mengganti kalimat
awal sajak ini dengan
sebuah pertanyaan, menjadi
begini kira-kira:
"Kapan aku pulang?"
Karna pulang sejatinya
adalah sebuah kehangatan.
Menjenguk rumahku yang jenuh
mendengar langkah kakiku terus
merusak keheningan.
Lampu beranda menyapaku dengan sedikit geram
Sementara ayam-ayam di kandang
terbangun dan memarahiku dengan nada yang pelan.
Sapaan atau salam tidak datang keluar
dari mulut atau terdengar di telinga.
Ia menjadi imajinasi yang angkuh,
berbelit, dan semena-mena.
Kaki yang telentang, terbaringnya badan,
serta suara dengkur 3 orang
adalah keniscayaan.
Saat itu aku tidak benar-benar pulang.
Aku malu untuk mengakui
bahwa aku telah pulang.
Dan aku rasa, puisi ini
terlampau memaksa diriku untuk
digambarkan dalam situasi pulang.
Tiba-tiba aku berfikir
untuk mengganti kalimat
awal sajak ini dengan
sebuah pertanyaan, menjadi
begini kira-kira:
"Kapan aku pulang?"
Karna pulang sejatinya
adalah sebuah kehangatan.
January 23, 2019
Mimbar-Mimbar
Setiap hari aku melihat orang berkutbah
di setiap sudut persimpangan jalan
di depan rumah.
Mereka memakai baju berkerah,
rapi dengan dasi dan celana kain yang masih
ngecap garis setrikaan.
Mereka membawa microfon, poster,
pendukung, bahkan mimbarnya sendiri!
Lantang sekali, nyaring suaranya,
sampai setiap orang tanpa sadar
menoleh ke sumber suara.
Apalagi tukang sayur dan tukang bubur
sampai kehilangan pelanggannya.
Di mimbar yang praktis itu,
mereka meneriakkan kehidupan mereka
satu demi satu: bergantian tanpa ada jeda
hingga maghrib menjelang.
Setiap orang terpaksa mendengarkan,
hingga adzan maghrib sedikit tertunda lantaran
suara mereka lebih didengar daripada
suara muadzin di masjid seberang.
Khutbah mereka cukup performatif!
Ada yang menari-nari
Ada yang berteriak keras lalu merangkul sembarang orang
Ada juga yang jungkir balik sehingga mungkin
itu yang menarik perhatian.
Mereka sungguh mendapatkan perhatian yang serius
dari orang-orang yang terbius akan kemewahan
dan ketidakpastian masa depan.
Sampai-sampai ada yang mengerutkan jidatnya
seolah menerka setiap khutbah yang dituturkan.
Hari berganti.
Aku masih saja mendengarkan khutbah itu berkali-kali
Hingga suatu saat aku menyadari,
betapa malunya aku berdiri di depan mimbar itu sendiri.
di setiap sudut persimpangan jalan
di depan rumah.
Mereka memakai baju berkerah,
rapi dengan dasi dan celana kain yang masih
ngecap garis setrikaan.
Mereka membawa microfon, poster,
pendukung, bahkan mimbarnya sendiri!
Lantang sekali, nyaring suaranya,
sampai setiap orang tanpa sadar
menoleh ke sumber suara.
Apalagi tukang sayur dan tukang bubur
sampai kehilangan pelanggannya.
Di mimbar yang praktis itu,
mereka meneriakkan kehidupan mereka
satu demi satu: bergantian tanpa ada jeda
hingga maghrib menjelang.
Setiap orang terpaksa mendengarkan,
hingga adzan maghrib sedikit tertunda lantaran
suara mereka lebih didengar daripada
suara muadzin di masjid seberang.
Khutbah mereka cukup performatif!
Ada yang menari-nari
Ada yang berteriak keras lalu merangkul sembarang orang
Ada juga yang jungkir balik sehingga mungkin
itu yang menarik perhatian.
Mereka sungguh mendapatkan perhatian yang serius
dari orang-orang yang terbius akan kemewahan
dan ketidakpastian masa depan.
Sampai-sampai ada yang mengerutkan jidatnya
seolah menerka setiap khutbah yang dituturkan.
Hari berganti.
Aku masih saja mendengarkan khutbah itu berkali-kali
Hingga suatu saat aku menyadari,
betapa malunya aku berdiri di depan mimbar itu sendiri.
January 15, 2019
Hakekat Cinta Menurut Tejo yang Aku Amini
Aku mencintaimu
dengan tanpa aku tahu
alasan apa yang tepat untuk
ku jelaskan kepadamu.
Karena disitu lah hakekat cinta,
ucap Tejo saat ia selesai menenggak
kopi hitam serta rokok kreteknya.
January 13, 2019
Selimut Abu-Abu
Aku memilih berbaring hari ini.
Telentang. Rebah, dan abai
terhadap waktu.
Aku berjelajah ke ruang-ruang
yang tak menentu,
hinggap dari satu pintu ke pintu lainnya.
Aku temui ombak besar,
aku berselancar,
mengikuti ombak membawaku
ke dalam dimensi yang saling bertabrakan.
Tidak lagi ada jalan pulang, kata ku dalam pikiran.
Lalu aku menunggu arus yang akan membawa ku
ke arah yang berlawanan.
Aku terlalu asik, dan lupa bahwa
ada yang harus aku kunjungi
meski aku tak pernah tahu
siapa itu.
Aku terdampar!
Di sebuah pulau berpasir putih
Di sini lah aku mulai berjalan,
dan mulai meninggalkan papan selancar.
Tak lama, aku melihat kunang-kunang.
Indah. Indah sekali, bak matahari
di tengah gelapnya mendung langit
semesta ini.
Aku pandangi kunang-kunang itu
Lama. Lama sekali, sampai aku menyadari
bahwa aku tidak sedang pergi.
Angin menembus selimut
dan menusuk setiap kulit tubuhku.
Lalu aku tarik lagi selimut itu,
hingga tertutuplah seluruh tubuhku.
Telentang. Rebah, dan abai
terhadap waktu.
Aku berjelajah ke ruang-ruang
yang tak menentu,
hinggap dari satu pintu ke pintu lainnya.
Aku temui ombak besar,
aku berselancar,
mengikuti ombak membawaku
ke dalam dimensi yang saling bertabrakan.
Tidak lagi ada jalan pulang, kata ku dalam pikiran.
Lalu aku menunggu arus yang akan membawa ku
ke arah yang berlawanan.
Aku terlalu asik, dan lupa bahwa
ada yang harus aku kunjungi
meski aku tak pernah tahu
siapa itu.
Aku terdampar!
Di sebuah pulau berpasir putih
Di sini lah aku mulai berjalan,
dan mulai meninggalkan papan selancar.
Tak lama, aku melihat kunang-kunang.
Indah. Indah sekali, bak matahari
di tengah gelapnya mendung langit
semesta ini.
Aku pandangi kunang-kunang itu
Lama. Lama sekali, sampai aku menyadari
bahwa aku tidak sedang pergi.
Angin menembus selimut
dan menusuk setiap kulit tubuhku.
Lalu aku tarik lagi selimut itu,
hingga tertutuplah seluruh tubuhku.
Subscribe to:
Posts (Atom)