Aku pulang.
Menjenguk rumahku yang jenuh
mendengar langkah kakiku terus
merusak keheningan.
Lampu beranda menyapaku dengan sedikit geram
Sementara ayam-ayam di kandang
terbangun dan memarahiku dengan nada yang pelan.
Sapaan atau salam tidak datang keluar
dari mulut atau terdengar di telinga.
Ia menjadi imajinasi yang angkuh,
berbelit, dan semena-mena.
Kaki yang telentang, terbaringnya badan,
serta suara dengkur 3 orang
adalah keniscayaan.
Saat itu aku tidak benar-benar pulang.
Aku malu untuk mengakui
bahwa aku telah pulang.
Dan aku rasa, puisi ini
terlampau memaksa diriku untuk
digambarkan dalam situasi pulang.
Tiba-tiba aku berfikir
untuk mengganti kalimat
awal sajak ini dengan
sebuah pertanyaan, menjadi
begini kira-kira:
"Kapan aku pulang?"
Karna pulang sejatinya
adalah sebuah kehangatan.
No comments:
Post a Comment