Setiap hari aku melihat orang berkutbah
di setiap sudut persimpangan jalan
di depan rumah.
Mereka memakai baju berkerah,
rapi dengan dasi dan celana kain yang masih
ngecap garis setrikaan.
Mereka membawa microfon, poster,
pendukung, bahkan mimbarnya sendiri!
Lantang sekali, nyaring suaranya,
sampai setiap orang tanpa sadar
menoleh ke sumber suara.
Apalagi tukang sayur dan tukang bubur
sampai kehilangan pelanggannya.
Di mimbar yang praktis itu,
mereka meneriakkan kehidupan mereka
satu demi satu: bergantian tanpa ada jeda
hingga maghrib menjelang.
Setiap orang terpaksa mendengarkan,
hingga adzan maghrib sedikit tertunda lantaran
suara mereka lebih didengar daripada
suara muadzin di masjid seberang.
Khutbah mereka cukup performatif!
Ada yang menari-nari
Ada yang berteriak keras lalu merangkul sembarang orang
Ada juga yang jungkir balik sehingga mungkin
itu yang menarik perhatian.
Mereka sungguh mendapatkan perhatian yang serius
dari orang-orang yang terbius akan kemewahan
dan ketidakpastian masa depan.
Sampai-sampai ada yang mengerutkan jidatnya
seolah menerka setiap khutbah yang dituturkan.
Hari berganti.
Aku masih saja mendengarkan khutbah itu berkali-kali
Hingga suatu saat aku menyadari,
betapa malunya aku berdiri di depan mimbar itu sendiri.
No comments:
Post a Comment