May 18, 2015

Ku Tunggu Kau Dek Na

Memang, ketika rasa rindu lenyap dimakan waktu, kita hanya bisa diam. Membisu. Kaku. Lalu kita tak dapat lagi membuat rindu itu muncul beterbaran di kampung halaman dan kembali menghidupkan sorak-sorak gembira yang sekarang padam oleh waktu. Hanya kadang kenangan itu muncul begitu saja dan hilang begitu.


Pesan yang kau kirim padaku kemarin sore itu, sempat membuatku tersentak dan cukup mengagetkan nadi-nadi yang berdenyut di tangan kanan kiri ku. Entah, tapi pesan itu berbunyi kurang lebih seperti ini: "Mas, seminggu lagi aku pergi meninggalkan Jakarta. Aku harus merantau ke Sumatera karena aku akan melanjutkan studiku disana. Kalau berkenan, tepat hari kamis minggu depan, mas bisa antar aku ke bandara, aku tunggu mas di sana."

Baru saja kita merajut kata menjadi cerita yang asik didengar telinga. Pagi, sore, dan malam, kita hanya menurutkan cerita-cerita dan guyonan untuk saling tertawa. Tapi kini, aku harus tak kuasa menahan rasa yang mengagetkan yang datangnya tiba-tiba. Aku memang tak ingin kau pergi dari Jakarta, Dek Na. Tapi kalau itu yang kau pinta, kamis minggu depan, aku akan siapkan mentalku untuk melepas kepergiaanmu di bandara

Hari itu datang juga, setelah seminggu menunggu untuk kedatangannya, maka kamis hari itu menjadi mendung dan dipenuhi angin dimana-mana. Orang-orang lalu lalang begitu sibuk memikirkan pekerjaannya. Sedangkan aku yang tetap murung di beranda, hanya penuh harap akan terjadi sebuah keajaiban yang tiba-tiba melanda. Ya, aku tak boleh membuat Dek Na memikirkan kesedihanku ini, sebisa mungkin aku harus tetap nampak biasa saja, tapi, sungguh aku tak ingin kehilangan Ia. Belum ada sebulan kita bersama, belum sempat terucap kalimat tanya, Ia sudah harus meninggalkan Jakarta. "Mungkin memang bukan ini orangnya" tuturku dalam hati.

Aku siapkan beberapa bekal untuk Dek Na saat nanti dalam pesawat. Aku bawakan dia nasi goreng dan beberapa gorengan yang aku masak sendiri saat pagi buta. Juga beberapa buah yang aku petik dari kebun tetangga yang baru saja panen.

Siang itu pukul tiga belas, keberangkatan pesawatnya mungkin sekitar pukul 3 sore, karena di akhir pesan ia berkata "Mungkin pesawatku sehabis adzan ashar mas. Kau boleh datang sebelum itu". Pesan itu tak ku balas, memang sengaja aku diamkan beberapa hari. Pasalnya aku begitu terpukul untuk mengetahui hal tersebut. Dan aku pun kehabisan kata-kata untuk membalas pesan maut tersebut. Setelah sekiranya semua siap, aku pun berangkat menuju bandara.

Sesampainya bandara, aku menuruni tangga bis yang licin dan lengket oleh debu Jakarta. Pandangan mataku tertuju pada setiap pesawat yang lepas landas dari sana. Aku membayangkan Dek Na yang sebentar lagi lenyap dari mataku, harus berada jauh ditempat yang sebelumnya tak pernah terfikirkan dalam benakku.

Lalu aku berjalan menuju ruang tunggu. Di sepanjang perjalananku, aku sesekali merapikan bungkus bekalku yang aku bawa untuk Dek Na. Kadang kantong plastiknya lusuh dan berantakan, aku rapikan. Aku ingin bekal ini tetap rapi terjaga agar sedikit berkesan, walau hanya sebungkus nasi goreng dan gorengan serta buah-buahan.

Lama aku menunggu, sekitar pukul setengah 3 sore, Dek Na terlihat dari bangku-bangku yang bosan pada lengketnya bokong para pengantar. Aku berdiri dari bangku tersebut, dan memanggil Dek Na. "Dek! Mas di sini" Sambil aku layangkan tanganku ke udara. Ia pun menghampiriku. Lalu kami duduk berdampingan. "Ini, Mas bawakan bekal untuk nanti di pesawat" aku menawarkan bekal. "Wah, terimakasih mas, malah ngerepotin" Dek Na menerima bekal yang aku bawakan. "Jadi, nanti di Sumatera Dek Na tinggal dengan siapa? tanyaku. "Nanti kalau berkenan, Tanteku dari Medan akan menyediakan tempat tinggal. Itupun kalau beliau berkenan. Ya kalau tidak, ngekos mungkin mas"

Aku pun hanya mengangguk dan Dek Na tetap saja duduk manis sambil sesekali melihat jam dinding yang menempel pada tiang penyangga ruang tunggu. Aku pun mencuri pandanganku pada wajah Dek Na, rasa-rasanya aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama jadi gejolak dalam batinku. Waktu ku hanya tinggal beberapa menit saja. Keberangkatan Dek Na sudah hampir menyolok mata. Aku harus segera mengatakannya, atau kalau tidak aku hanya akan dihantui rasa gelisah dan mati konyol karena menyesali perbuatanku yang sia-sia. Akhirnya, aku beranikan memegang tangannya sambil berkata "Dek Na, ada yang Mas mau katakan". "Apa itu mas?" "Jadi, mas itu....." belum sempat kata itu terucap, Dek Na sudah terburu-buru harus segera masuk ke dalam pesawat. "Mas maaf, Dek Na harus segera masuk ke dalam pesawat. Salam buat keluarga Mas ya. Oiya mas, mmmmm" tiba-tiba Ia memelukku sangat erat, seperti ada rasa sayang yang ia pendam seperti aku memendam rasa yang sama padanya. "Dek Na pergi dulu ya mas. Kalau studi Dek Na selesai, Dek Na janji akan berkunjung ke Jakarta dan menemui Mas". Dek Na pun pergi. Aku masih terdiam dan sedikit keheranan. Aku mendapat pelukan dari orang yang aku pinta. Tapi, kini Ia sudah pergi ke Sumatera. Yang aku ingat hanya kata-kata terakhirnya, yang akan menemuiku setelah studinya di Sumatera berakhir dengan Sarjana.

Memang, ketika kata yang dirajut dengan cinta itu padam, sebuah kenangan akan muncul dan menjadi sebuah kabar yang mengharukan. Waktu demi waktu, hari demi hari, kenangan itu selalu hadir di wajah pekarangan. Wajah Dek Na yang selalu terbayang-bayang, menjadi sebuah mimpi di tengah-tengah riuhnya orang yang sibuk memikirkan pekerjaan, sementara aku memurungkan diri, menunggu kabar Dek Na, yang empat tahun lagi akan menemuiku di kampung sempit, di pinggiran kota Jakarta. Ku tunggu kau Dek Na, di beranda.

*Nama Dek Na diambil dari salah satu puisi WS Rendra.

1 comment:

  1. Widiiiih ini apik wan, cerpenmu kian berkembang! Just write more like this. Coba penulisannya dirapikan lagi, misalnya tanda baca, spasi, gitu gitu. You rock man! :))))

    ReplyDelete