Akhirnya, film kodak gold kali ini menghasilkan project baru yang mungkin pengambilan fotonya akan memakan banyak waktu, karena kesibukan dan ketidak adanya waktu senggang yang saya miliki saat ini. Juga kewajiban saya belajar sebagai siswa di sekolah menengah atas, yang beberapa bulan lagi akan menghadapi ujian agar dapat dinyatakan lulus oleh sekolah. Namun, saya tidak mau waktu yang sangat mepet ini menghambat pergulatan saya di bidang fotografi, khususnya fotografi analog. Maka dari itu, saya kerap memikirkan project-project apalagi yang akan saya hadapi kemudian, demi kemajuan dan penguasaan teknik dalam bidang fotografi.
Ide project "Human Traffic Cone" awalnya muncul ketika isu-isu tentang pemabangunan bangunan-bangunan pencakar langit akan diberdirikan di kota budaya ini. Sebagaimana mestinya, kota yang bertajuk "Berhati Nyaman", harusnya memang menciptakan suasana damai, tenteram, dan nyaman. Tetapi semakin kesini malah semakin hilang saja keaslian semboyannya. Pun banyak yang melesetkannya menjadi "Berhenti Nyaman" dan sebagainnya, dikarenakan memang banyak gedung-gedung baru didirikan dan mengganggu kenyamanan warga Yogya. Seperti hotel, mall, dan gedung-gedung lain yang menyebabkan banyak dari pelbagai lapisan masyarakat merasakan ketidaknyamanan, juga menimbulkan banyak tanda tanya kenapa gedung-gedung ini didirikan, sedangkan lahan pertanian, khususnya di kota, sudah mulai menipis, serta kota sebesar Yogya, yang bahkan tidak memiliki taman kota di dalamnya.
Munculnya mural dan petisi "Jogja Ora Didol" pun juga sangat hangat dibicarakan, sampai-sampai mural yang tadinya hadir di Jokteng Wetan, hanya tinggal kenangan dan menjadi mural-mural lainnya saja. Kenapa? Apakah kita sebagai warga asli, tidak boleh menjadikan kota ini benar-benar menjadi kota yang nyaman sebagaimana semboyannya? Apakah kita juga tidak diperbolehkan mengumandangkan bahwa kita tak rela kota ini dijual?
Pembangunan boleh saja, namun kita perlu memandang aturan. Ada di bumi siapa kita berpijak? Apakah keserakahan ini membuat kita buta, seakan-akan kita hidup kekal dengan kemewahan ini? Semua pembangunan pasti ada batasnya. Toh, kita ini manusia, kita berasal dari tanah, kita hidup di tanah, dan akan kembali ke tanah. Dalam arti lain, tanah ialah kita sendiri, yang menjelma menjadi manusia, yang diciptakan untuk saling mencintai, dan kalau pembangunan sudah tak memiliki dasar mencintai, maka pembangunan itu akan sia-sia walau pembangunan itu dahsyat dan dipandang banyak negara.
Melalui ide tersebut, saya ingin menvisualkannya melalui bentuk seni fotografi. Dimana saya mereperesentasikan bentuk aturan, Tuhan, dan kesederhanaan melalui Traffic Cone tersebut. Coba kita cermati ulang, bentuk dari traffic cone ialah kerucut atau bisa dibilang seperti piramida. Dimana pada pondasinya ada sebuah alas yang lebar, dan dipuncaknya mengerucut. Bentuk ini jika digambarkan, maka akan seperti manusia dengan Tuhan. Dimana manusia berada dalam pondasi-pondasi tersebut, seolah-olah Tuhan yang berada di puncak kerucut itu mengamati dan mengawasi gerak geriknya. Maka dapat diambil kata lain, sebuah kegiatan manusia, atau tingkah manusia harus ingat dan tak boleh melanggar norma agama, sebagaimana ada dalam setiap kitab agama di dunia.
Traffic Cone ini juga merepresentasikan sebuah aturan dimana kita harus menaatinya, kalau tidak kita malah akan terperangkap ke sebuah masalah, baik itu kecil maupun besar. Dari namanya, traffic cone biasa dipasang dijalan-jalan untuk mengarahkan pengendara dari perbaikan, atau untuk menertibkan lalu lintas agar setiap pengendara mematuhinnya. Seakan-akan ada sebuah aturan dalam traffic cone sendiri yang menyebutkan bahwa kita harus menurutinya agar kita selamat. Maka dari itu, traffic cone akan mengacu pada sebuah aturan, dimana semua kegiatan manusia, harus ada aturannya. Tidak boleh semaunya sendiri, bahkan semena-mena. Mungkin sebagai contoh dalam bidang olahraga, basket contohnya. Dalam basket memang ada beberapa aturan yang wajib dilaksanakan, seperti melempar bola ke dalam ring untuk mendapatkan poin. Aturan ini terdengar sepele dan sangat lahir, tapi mungkin jika bola itu tidak lagi dilempar ke ring, melainkan di tendang ke gawang, bisa saja permainan itu berubah menjadi sepak bola.
Gambaran kesederhanaan juga dapat diambil dari bagaimana traffic cone itu sendiri di tempatkan dan di letakkan. Biasanya traffic cone di letakan di tengah jalan, di pinggir jalan, bahkan ditengah jalan tikungan agar pengendara tidak menyalip saat tikungan tersebut, atau bisa dibilang hati-hati. Letak kesederhanaanya berada dimana ia diletakkan dan disimpan, tak perlu tempat mewah, tak perlu tempat yang bersuhu ini itu, traffic cone akan selalu menjadi traffic cone walau ditempatkan dimana saja. Seperti halnya manusia, mau dihidupkan di tempat mewah, kaya, dan miskin, kita sebagai manusia harus tetap berjiwa sederhana. Tak boleh kikir, sombong, bahkan kita harus mematri sifat kedermawanan dalam diri kita
Project ini terbilang (mungkin) sangat biasa, karena setiap project yang saya garap, biasannya hanya untuk saya sendiri. Seperti hal yang saya ulas diatas, saya selalu menyempatkan diri untuk memotret demi kemajuan dan penguasaan teknik fotografi saya. Pun project ini juga ingin menyampaikan kepada banyak khalayak, bahwa sebuah tindakan atau tingkah laku manusia kepada sesama manusia dan juga dengan alam sekitar, harus tetap menjaga aturan yang ada. Tidak semena mena, tidak boleh mengeksploitasi, dan tetap harus di kembalikan lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnya kita ialah milik-Nya dan suatu saat akan kembali pada-Nya. Maka, jangan sesekali kita hidup bermewah-mewah dan lupa pada tetangga kita sendiri.
Silahkan. Ketidaksempurnaan project ini mohon dimaafkan.
*Project ini disuguhkan(sebenarnya) untuk satir proyek pembangunan yang marak di kota Yogya, foto dibawah ini hanya sebagai prolog dan demo. Diambil melalui kamera Ricoh KR-5 Super, dengan lensa SMC Takumar dengan bukaan terbesar 1:2
No comments:
Post a Comment